Mari Gabung Bersama Kami Dalam Belajar Islam
Akal adalah anugerah Tuhan yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Melalui akal, manusia mampu berpikir, bernalar, dan memecahkan masalah. Namun, akal memiliki keterbatasan yang membuat manusia membutuhkan petunjuk lebih lanjut untuk menjalani kehidupan yang baik dan benar, baik di dunia maupun akhirat.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa akal secara mandiri tidak cukup:
Keterbatasan Informasi:
Informasi yang tidak lengkap: Akal manusia terbatas pada informasi yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan, dan penalaran. Banyak hal yang berada di luar jangkauan panca indera dan akal manusia, seperti hal-hal gaib dan kehidupan setelah kematian.
Informasi yang bersifat relatif: Kebenaran yang dihasilkan oleh akal seringkali bersifat relatif dan dapat berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Kecenderungan Berbuat Salah:
Emosi dan nafsu: Akal seringkali dipengaruhi oleh emosi dan nafsu yang dapat mengaburkan penilaian.
Kepentingan pribadi: Setiap individu memiliki kepentingan pribadi yang dapat mewarnai penilaian dan keputusan.
Prasangka dan bias: Pengalaman masa lalu, budaya, dan lingkungan sosial dapat membentuk prasangka dan bias yang mempengaruhi cara berpikir seseorang.
Ketidakpastian Masa Depan:
Kejadian tak terduga: Kehidupan penuh dengan ketidakpastian dan kejadian-kejadian yang tidak dapat diprediksi oleh akal manusia.
Akibat jangka panjang: Akal manusia seringkali sulit untuk mempertimbangkan semua konsekuensi jangka panjang dari suatu tindakan.
Peran Wahyu dalam Menuntun Kehidupan
Wahyu adalah petunjuk langsung dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui para nabi dan rasul. Wahyu melengkapi keterbatasan akal manusia dengan memberikan:
Kebenaran mutlak: Wahyu memberikan kebenaran yang mutlak dan tidak berubah sepanjang zaman.
Petunjuk yang komprehensif: Wahyu memberikan petunjuk yang komprehensif tentang segala aspek kehidupan, mulai dari hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.
Nilai-nilai moral yang universal: Wahyu mengajarkan nilai-nilai moral yang universal dan berlaku untuk semua manusia di seluruh dunia.
Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari
Akal: Seseorang mungkin berpikir bahwa mencuri adalah tindakan yang tepat jika ia sangat membutuhkan sesuatu dan tidak memiliki cara lain untuk mendapatkannya.
Wahyu: Agama mengajarkan bahwa mencuri adalah perbuatan dosa dan melanggar hukum Tuhan.
"Kesimpulannya, akal tidak bisa mandiri dalam memahami manfaatnya tanpa wahyu. Oleh karena itu, bid'ah bertentangan dengan prinsip ini, karena tidak memiliki sandaran syari' yang pasti. Yang tersisa hanyalah apa yang mereka klaim dari akal.
Jadi, seorang pembuat bid'ah tidak memiliki keyakinan bahwa bid'ahnya akan mendatangkan apa yang ia harapkan darinya. Sehingga bid'ah itu menjadi sia-sia.
Poin-poin utama:
Keterbatasan akal: Akal manusia tidak bisa berdiri sendiri dalam memahami kebaikan dan keburukan, terutama dalam hal agama.
Bid'ah bertentangan dengan wahyu: Bid'ah tidak memiliki dasar dalam agama, sehingga tidak bisa dibenarkan.
Ketidakpastian hasil bid'ah: Orang yang melakukan bid'ah tidak bisa yakin akan mendapatkan manfaat dari perbuatannya.
Syariat sebagai tuntunan: Syariat agama datang untuk memberikan petunjuk kepada manusia, bukan untuk ditambahi atau dikurangi.
"Sesungguhnya orang yang membuat bid'ah adalah seorang yang menentang syariat dan sangat menyulitkan dirinya. Karena syariat telah menetapkan jalan-jalan khusus untuk mencapai berbagai tujuan hamba, dan membatasi manusia pada jalan-jalan tersebut dengan perintah, larangan, janji, dan ancaman. Syariat juga telah menjelaskan bahwa kebaikan terletak di dalamnya, dan kejahatan terletak pada melampauinya ke hal lain. Karena Allah mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui, dan Dia hanya mengutus Rasul sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maka orang yang membuat bid'ah menolak semua ini, karena dia mengklaim bahwa ada jalan-jalan lain, dan apa yang telah dibatasi oleh syariat tidaklah terbatas, dan apa yang telah ditentukan oleh syariat tidaklah mutlak. Seolah-olah dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh syariat. Dan jika ini adalah maksud dari pembuat bid'ah, maka ini adalah kufur terhadap syariat dan terhadap Sang Pencipta Syariat. Dan jika bukan itu maksudnya, maka ini adalah kesesatan yang nyata."